Senin, 06 Februari 2012


Mengenali Senjata Selundupan di Wilayah Konflik Tanah Air

Aksi Petrus (Penembak Misterius) terus menghantui ujung Timur dan Barat Nusantara. Bukan untuk menghabisi dedengkot residivis dan bromocorah, melainkan membantai warga sipil biasa. Hal ini erat kaitannya dengan eskalasi konflik separatisme OPM di Papua dan isu keamanan PT. Freeport Indonesia. Demikian pula adanya rivalitas tokoh eks GAM jelang Pemilukada Aceh, ditengarai telah memunculkan gerombolan bersenjata yang aktif melakukan aksi premanisme sekaligus pembunuhan politik.

Diluar kesimpangsiuran siapa pelaku penembakan berikut motif yang melatarbelakanginya, adalah menarik mencermati asal muasal perolehan senjata yang dipakai pada masing-masing wilayah konflik. Hal ini begitu mencuat dalam kasus Aceh, dimana Polri secara gamblang menyatakan bahwa sebagian besar aksi serangan bermodus penembakan dari jarak dekat menggunakan AK-47/56. Kesimpulan didasarkan atas fakta TKP berupa temuan selongsong proyektil  7,62 x 39 mm, kaliber munisi standar untuk senapan AK-47 dan AK-56.

Peredaran gelap Avtomat Kalashnikova di Aceh memiliki benang merah dengan gejolak separatisme periode tahun 2000 – 2005.  Waktu itu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “mengimpor”  senjata selundupan dari Pattani –daerah perbatasan Thailand dengan Malaysia- yang juga tengah dilanda konflik separatisme. Adapun lumbung senjata sesungguhnya berada di Segitiga Emas (Golden Triangle) yang mencakup wilayah pegunungan Myanmar, Thailand, Vietnam dan Laos.





 
kawasan segitiga emas
 



Inilah kawasan outlaw  dimana narkotika dan senjata bebas diperjualbelikan bersama-sama dengan aktivitas perjudian dan perdagangan wanita. Dalam reportase perjalanannya tahun 2001, wartawan Times Robert Horn, menyatakan sebagian dari senjata gelap di Segitiga Emas adalah stok lawas warisan Perang Vietnam dan Perang Kamboja. Sedang sebagian lainnya merupakan senjata baru pabrikan Cina yang diselundupkan ke Kamboja dan Thailand melalui Laos, hingga akhirnya “merembes” sampai ke Aceh.  

Pasca perjanjian damai Helsinki tahun 2005 yang disusul program perlucutan senjata, ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh para mantan kombatan GAM dengan menyerahkan senjata kepada aparat keamanan. Menurut Kapolda NAD, Irjen Iskandar Hasan, jumlah senjata yang diserahkan mantan anggota GAM baru sebanyak 840 pucuk alias sepertiga dari taksiran total anggota GAM sebanyak 3.000 orang. Sementara sisanya diduga sengaja “dikuburkan” oleh pemiliknya yang sudah insyaf atau ikut “berkelana” bersama pemiliknya yang menjadi ronin. “Kuburan” senjata di Aceh pasca perdamaian menjadi daya pikat tersendiri bagi kalangan oportunis, salah satunya kelompok teroris radikal Islam yang membangun kamp pelatihan di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada awal 2010.    







Agar tidak kebingungan membedakan AK-47 dan AK-56, maka perlu dijelaskan disini tentang perbedaan keduanya. Secara umum AK-47 adalah The Real  Avtomat Kalashnikova buatan Rusia, sedang AK-56 merupakan jiplakan RRC atas AK-47. Secara detil fisik, perbedaan dapat dilihat dari desain pisir depan, dimana AK-56 berbentuk bulat penuh sedangkan AK-47 berbentuk nyaris bulat dengan menyisakan takik pada coakan. Demikian dari aspek bobot, AK-56 memiliki berat kosong (tanpa amunisi) 3,8 Kg, atau lebih ringan dibanding AK-47 yang memiliki berat kosong 4,3 Kg.

Mengapa AK-47/56 yang harus di”kambinghitam”kan dalam aksi teror jelang Pemilukada Aceh ?

Hipotesa pertama terkait kehandalan AK-47/56, yang sejatinya oleh sangat kreator, Mikhail Kalashnikov, dirancang sebagai senapan serbu yang sederhana dan mudah dibersihkan. Kuncinya terletak pada ukuran piston gas yang besar, jarak antar komponen mekanis yang longgar  (walau menyebabkab penurunan akurasi tembak) berikut pelapisan krom pada lorong laras dan interior silinder gas, membuat AK-47 tetap menyalak dalam kondisi super kotor dan berdebu. Mungkin inilah yang membuat Kalashnikov relatif bertahan dibanding M-16 di dalam liang penyimpanan dan siap ditembakan kapan dan dimana saja.



Hipotesa kedua terkait pencitraan AK-47/56 sebagai simbol revolusi.  Kondisi ini tak lepas dari sejarah Perang Dingin, yang mana Uni Soviet dan RRC –demi ekspansi komunisme internasional-  memasok AK-47/56 kepada negara blok sosialis, pergerakan marxisme/maoisme serta kelompok revolusioner. Apalagi harganya murah, hanya dibanderol 850 dollar per pucuk. Diperkirakan populasi AK-47 berikut variannya mencapai 75 – 100 juta pucuk di seantero dunia. Popularitasnya pun semakin menjulang ketika diadopsi oleh militan PLO dalam konflik Timur Tengah. Sementara penggunaan AK-47/56 oleh kelompok GAM sendiri seakan menjadi penciri khas perlawanan terhadap TNI/Polri yang menggunakan senapan standar bermunisi 5,56 mm macam SS-1 (FNC), M-16 serta AK-101. Dengan demikian bukanlah sebuah kemustahilan apabila muncul conspiracy theory bahwa penyalahgunaan AK-47/56 di Aceh guna menekankan kesan isu gerakan separatisme dalam teror berdarah jelang Pemilukada.

Beralih ke Papua, kasus penembakan menggunakan senjata laras panjang umumnya hanya meninggalkan jejak berupa selongsong dan proyektil peluru kaliber 5,56 x 45 mm NATO. Kondisi ini (lagi-lagi) memunculkan teori konspirasi keterlibatan aparat keamanan TNI/Polri. Namun di sisi lain semakin menguatkan sinyalemen bahwa TPN (Tentara Pembebasan Nasional/sayap militer OPM)  telah mempersenjatai diri dengan senapan M-16.

sovenir prangko OPM bergambar Kelly Kwalik menyandang M-16
 




 




Selain berasal dari hasil rampasan aparat keamanan, OPM juga mendatangkan senapan M-16 secara ilegal dari Papua Nugini, lewat perantara geng Raskol, kelompok preman penguasa bisnis senjata gelap dan narkoba di Vanimo, kota perbatasan Papua Nugini dengan Indonesia. Dari sini senjata diselundupkan melalui  sejumlah jalur “tikus” yang tersebar di di daerah Wembi dan Arso, distrik Keerom, serta sekitar pintu perbatasan Skouw – Wutung. Bahkan kini pesisir sekitar Manokwari mulai rawan aksi penyelundupan senjata.  

Indikasi lokasi penyelundupan di pesisir Manokwari, seakan menjadi benang merah perluasan jaringan penyelundupan senjata asal Filipina. Selain faktor kedekatan jarak, negeri asal Imelda Marcos ini juga banyak beredar senjata api di kalangan masyarakat umum. Menurut data Philipine National Police (PNP), terdapat sekitar 1,2 juta senjata api beredar di masyarakat, dimana 400 ribuan diantaranya tergolong ilegal. Ini termasuk 15 ribu pucuk yang berada di tangan kelompok pemberontak dan geng kriminal. Dan khusus kelas senjata laras panjang ilegal, umumnya didominasi oleh M-16 dari varian A-1.
gerilyawan komunis Filipina bersenjata M-203, yakni M-16 dilengkapi pelontar granat

















Berlimpahnya stok M-16A1 di Filipina, tidak terlepas dari faktor historis kedekatan politik antara Washington dengan Manila. Salah satu “buah manis” hubungan tersebut adalah pemberian lisensi produksi M-16 kepada pabrikan lokal, Elisco Tool. Ironinya, pasokan senjata M-16 yang seharusnya ditujukan untuk keamanan nasional, justru oleh oknum aparat korup dialihkan kepada kelompok preman dan pedagang senjata gelap.

Sejatinya jaringan penyelundupan M-16 dari Filipina ke wilayah Indonesia Timur sudah berakar jauh sebelum eskalasi separatisme Papua. Ketika meletupnya konflik Ambon dan Poso sepanjang awal dekade 2000, Jamaah Islamiyah yang disponsori  Al-Qaeda, berupaya memasok senjata kepada Laskar Jihad dan kelompok Mujahiddin dari Filipina Selatan melalui Sulawesi Utara. Bahkan dapat dikatakan, M-16A1 menjadi senjata laras panjang standar kelompok radikal Islam Tanah Air. Hal ini dibuktikan dari senjata sitaan Densus 88 pasca penggerebekan sejumlah safe house kelompok teroris.    


Di luar gampangnya menyelundupkan M-16A1 asal Filipina, sejatinya senapan ini memang ideal untuk postur fisik orang Asia. Terbuat dari komposisi material plastik kualitas tinggi, alumunium dan stainless steel, menjadikan bobot kosong M-16A1 hanya 4 Kg alias lebih ringan dibanding senapan AK-47, FN-FAL atau G-3. Selain itu M-16 punya keunggulan effective fire hingga jarak 600 meter, 2 kali lipat lebih jauh dibandingkan effective fire AK-47 sejauh 300 meter.   

Pada akhirnya untuk  memutus jaringan penyelundupan senjata ke wilayah konflik di tanah air, adalah dengan mencegah potensi konfik itu sendiri, baik melalui pendekatan sosial kultural maupun pemerataan kesejahteraan. Selanjutnya baru meningkatkan pengawasan dan pengamanan perbatasan terutama pada daerah rawan penyelundupan.        
  
     
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar