Mengenali Senjata Selundupan di Wilayah
Konflik Tanah Air
Aksi Petrus
(Penembak Misterius) terus menghantui ujung Timur dan Barat Nusantara.
Bukan untuk menghabisi dedengkot residivis dan bromocorah, melainkan membantai
warga sipil biasa. Hal ini erat kaitannya dengan eskalasi konflik separatisme
OPM di Papua dan isu keamanan PT. Freeport Indonesia. Demikian pula adanya
rivalitas tokoh eks GAM jelang Pemilukada Aceh, ditengarai telah memunculkan
gerombolan bersenjata yang aktif melakukan aksi premanisme sekaligus pembunuhan
politik.
Diluar
kesimpangsiuran siapa pelaku penembakan berikut motif yang melatarbelakanginya,
adalah menarik mencermati asal muasal perolehan senjata yang dipakai pada
masing-masing wilayah konflik. Hal ini begitu mencuat dalam kasus Aceh, dimana
Polri secara gamblang menyatakan bahwa sebagian besar aksi serangan bermodus
penembakan dari jarak dekat menggunakan AK-47/56. Kesimpulan didasarkan atas
fakta TKP berupa temuan selongsong proyektil
7,62 x 39 mm, kaliber munisi standar untuk senapan AK-47 dan AK-56.
Peredaran gelap
Avtomat Kalashnikova di Aceh memiliki
benang merah dengan gejolak separatisme periode tahun 2000 – 2005. Waktu itu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “mengimpor”
senjata selundupan dari Pattani –daerah
perbatasan Thailand dengan Malaysia- yang juga tengah dilanda konflik
separatisme. Adapun lumbung senjata sesungguhnya berada di Segitiga Emas (Golden Triangle) yang mencakup wilayah
pegunungan Myanmar, Thailand, Vietnam dan Laos.
|
kawasan segitiga emas |
Inilah
kawasan outlaw dimana narkotika dan senjata bebas diperjualbelikan
bersama-sama dengan aktivitas perjudian dan perdagangan wanita. Dalam reportase
perjalanannya tahun 2001, wartawan Times
Robert Horn, menyatakan sebagian dari senjata gelap di Segitiga Emas adalah
stok lawas warisan Perang Vietnam dan Perang Kamboja. Sedang sebagian lainnya
merupakan senjata baru pabrikan Cina yang diselundupkan ke Kamboja dan Thailand
melalui Laos, hingga akhirnya “merembes” sampai ke Aceh.
Pasca
perjanjian damai Helsinki tahun 2005 yang disusul program perlucutan senjata, ternyata
tidak sepenuhnya diikuti oleh para mantan kombatan GAM dengan menyerahkan senjata
kepada aparat keamanan. Menurut Kapolda NAD, Irjen Iskandar Hasan, jumlah
senjata yang diserahkan mantan anggota GAM baru sebanyak 840 pucuk alias
sepertiga dari taksiran total anggota GAM sebanyak 3.000 orang. Sementara sisanya
diduga sengaja “dikuburkan” oleh pemiliknya yang sudah insyaf atau ikut
“berkelana” bersama pemiliknya yang menjadi ronin.
“Kuburan” senjata di Aceh pasca perdamaian menjadi daya pikat tersendiri bagi kalangan
oportunis, salah satunya kelompok teroris radikal Islam yang membangun kamp
pelatihan di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada awal 2010.
Agar tidak
kebingungan membedakan AK-47 dan AK-56, maka perlu dijelaskan disini tentang
perbedaan keduanya. Secara umum AK-47 adalah The Real Avtomat Kalashnikova buatan Rusia,
sedang AK-56 merupakan jiplakan RRC atas AK-47. Secara detil fisik, perbedaan dapat
dilihat dari desain pisir depan, dimana AK-56 berbentuk bulat penuh sedangkan
AK-47 berbentuk nyaris bulat dengan menyisakan takik pada coakan. Demikian dari
aspek bobot, AK-56 memiliki berat kosong (tanpa amunisi) 3,8 Kg, atau lebih
ringan dibanding AK-47 yang memiliki berat kosong 4,3 Kg.
Mengapa
AK-47/56 yang harus di”kambinghitam”kan dalam aksi teror jelang Pemilukada Aceh
?
Hipotesa
pertama terkait kehandalan AK-47/56, yang sejatinya oleh sangat kreator,
Mikhail Kalashnikov, dirancang sebagai senapan serbu yang sederhana dan mudah
dibersihkan. Kuncinya terletak pada ukuran piston gas yang besar, jarak antar
komponen mekanis yang longgar (walau
menyebabkab penurunan akurasi tembak) berikut pelapisan krom pada lorong laras
dan interior silinder gas, membuat AK-47 tetap menyalak dalam kondisi super
kotor dan berdebu. Mungkin inilah yang membuat Kalashnikov relatif bertahan dibanding M-16 di dalam liang
penyimpanan dan siap ditembakan kapan dan dimana saja.
Hipotesa
kedua terkait pencitraan AK-47/56 sebagai simbol revolusi. Kondisi ini tak lepas dari sejarah Perang
Dingin, yang mana Uni Soviet dan RRC –demi ekspansi komunisme
internasional- memasok AK-47/56 kepada negara
blok sosialis, pergerakan marxisme/maoisme serta kelompok revolusioner. Apalagi
harganya murah, hanya dibanderol 850 dollar per pucuk. Diperkirakan populasi
AK-47 berikut variannya mencapai 75 – 100 juta pucuk di seantero dunia.
Popularitasnya pun semakin menjulang ketika diadopsi oleh militan PLO dalam
konflik Timur Tengah. Sementara penggunaan AK-47/56 oleh kelompok GAM sendiri seakan
menjadi penciri khas perlawanan terhadap TNI/Polri yang menggunakan senapan
standar bermunisi 5,56 mm macam SS-1 (FNC), M-16 serta AK-101. Dengan demikian bukanlah
sebuah kemustahilan apabila muncul conspiracy
theory bahwa penyalahgunaan AK-47/56 di Aceh guna menekankan kesan isu
gerakan separatisme dalam teror berdarah jelang Pemilukada.
Beralih ke
Papua, kasus penembakan menggunakan senjata laras panjang umumnya hanya
meninggalkan jejak berupa selongsong dan proyektil peluru kaliber 5,56 x 45 mm
NATO. Kondisi ini (lagi-lagi) memunculkan teori konspirasi keterlibatan aparat
keamanan TNI/Polri. Namun di sisi lain semakin menguatkan sinyalemen bahwa TPN (Tentara Pembebasan Nasional/sayap militer OPM) telah mempersenjatai diri dengan senapan M-16.
sovenir prangko OPM bergambar Kelly Kwalik menyandang M-16 |
Selain
berasal dari hasil rampasan aparat keamanan, OPM juga mendatangkan senapan M-16
secara ilegal dari Papua Nugini, lewat perantara geng Raskol, kelompok preman
penguasa bisnis senjata gelap dan narkoba di Vanimo, kota perbatasan Papua Nugini dengan Indonesia. Dari sini senjata
diselundupkan melalui sejumlah jalur
“tikus” yang tersebar di di daerah Wembi dan Arso,
distrik Keerom, serta sekitar pintu perbatasan Skouw – Wutung. Bahkan kini
pesisir sekitar Manokwari mulai rawan aksi penyelundupan senjata.
Indikasi
lokasi penyelundupan di pesisir Manokwari, seakan menjadi benang merah perluasan jaringan penyelundupan
senjata asal Filipina. Selain faktor kedekatan jarak, negeri asal Imelda Marcos
ini juga banyak beredar senjata api di kalangan masyarakat umum. Menurut data Philipine National Police (PNP),
terdapat sekitar 1,2 juta senjata api beredar di masyarakat, dimana 400 ribuan
diantaranya tergolong ilegal. Ini termasuk 15 ribu pucuk yang berada di tangan
kelompok pemberontak dan geng kriminal. Dan khusus kelas senjata laras panjang
ilegal, umumnya didominasi oleh M-16 dari varian A-1.
|
Berlimpahnya
stok M-16A1 di Filipina, tidak terlepas dari faktor historis kedekatan politik
antara Washington dengan Manila. Salah satu “buah manis” hubungan tersebut
adalah pemberian lisensi produksi M-16 kepada pabrikan lokal, Elisco Tool.
Ironinya, pasokan senjata M-16 yang seharusnya ditujukan untuk keamanan
nasional, justru oleh oknum aparat korup dialihkan kepada kelompok preman dan
pedagang senjata gelap.
Sejatinya
jaringan penyelundupan M-16 dari Filipina ke wilayah Indonesia Timur sudah
berakar jauh sebelum eskalasi separatisme Papua. Ketika meletupnya konflik
Ambon dan Poso sepanjang awal dekade 2000, Jamaah Islamiyah yang disponsori Al-Qaeda, berupaya memasok senjata kepada Laskar
Jihad dan kelompok Mujahiddin dari Filipina Selatan melalui Sulawesi Utara. Bahkan dapat dikatakan, M-16A1 menjadi senjata laras panjang standar
kelompok radikal Islam Tanah Air. Hal ini dibuktikan dari senjata sitaan Densus
88 pasca penggerebekan sejumlah safe
house kelompok teroris.
Di luar
gampangnya menyelundupkan M-16A1 asal Filipina, sejatinya senapan ini memang
ideal untuk postur fisik orang Asia. Terbuat dari komposisi material plastik
kualitas tinggi, alumunium dan stainless steel, menjadikan bobot kosong M-16A1
hanya 4 Kg alias lebih ringan dibanding senapan AK-47, FN-FAL atau G-3. Selain
itu M-16 punya
keunggulan effective fire hingga
jarak 600 meter, 2 kali lipat lebih jauh dibandingkan effective fire AK-47 sejauh 300 meter.
Pada akhirnya
untuk memutus jaringan penyelundupan
senjata ke wilayah konflik di tanah air, adalah dengan mencegah potensi konfik
itu sendiri, baik melalui pendekatan sosial kultural maupun pemerataan
kesejahteraan. Selanjutnya baru meningkatkan pengawasan dan pengamanan perbatasan
terutama pada daerah rawan penyelundupan.