Pendahuluan
Gagalnya Pertemuan Menlu ASEAN ke-45 di Phnom Penh, Kamboja, dalam menyepakati
Code of Conduct Laut Cina Selatan (LCS), menunjukan peliknya penyelesaian sengketa
teritorial atas
Kepulauan Spratly. Kondisi ini rawan memicu eskalasi konflik yang mengarah
kepada bentrokan terbuka. Terlebih adanya
indikasi upaya campur tangan “polisi dunia” AS guna menghambat hegemoni RRC.
Sengketa LCS –
khususnya Kepulauan Spratly – dari perspektif
geospasial adalah realita dari spatial conflict, yakni konflik teritorial
di perbatasan yang dipengaruhi aspek sosial politik ataupun ekonomi.
Namun kebanyakan
terkait dengan
sumber daya alam. Hal serupa berlaku di LCS
: Seabednya terkandung sekitar 23 sampai 30 miliar ton barel cadangan minyak
mentah berikut 16 triliun kubik meter cadangan gas alam, yang tersebar di
sekitar pesisir selatan Cina, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, Kepulauan
Palawan (Filipina), Laut Natuna, perairan utara Kalimantan dan pesisir selatan
Vietnam. Potensi perikanannya diperkirakan mencapai 7 % perikanan global.
Sementara permukaan lautnya setiap tahun menjadi superhighway bagi sepertiga volume pelayaran dunia yang wara-wiri antara kawasan Asia Timur Jauh dengan kawasan Timur Tengah.
Res Nullius
LCS mencakup 250
pulau, diantaranya yang terbesar adalah Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly,
Kepulauan Paratas, Macclesfield Bank
dan Scarborough Shoal. Toponiminya
mengacu pada penyebutan Mar
da China atau Laut Cina oleh pelaut
Portugis bagi perairan yang menjadi rute pelayaran niaga Eropa - Cina pada abad ke-16. Adapun klaim geo-historis disuarakan oleh RRC
dan Vietnam. Pihak Beijing merujuk peta masa Dinasti Han (206 SM
sampai 220 Masehi) sebagai otentifikasi bahwa LCS
masuk wilayah Cina. Sebaliknya Hanoi pun merujuk peta teritorial kerajaan Dinasti
Nguyen pada abad ke-17 yang melingkupi kawasan LCS.
Namun catatan resmi
penguasa LCS dalam sejarah adalah kolonial Perancis kemudian Jepang sepanjang periode
1930 s/d 1945. Usai Perang Pasifik yang ditandai kekalahan Jepang, terjadi
kevakuman kedaulatan laut. Hal inilah pencetus “perebutan kavling” laut antar negara-negara
pesisir LCS, mengamini asas hukum Res Nullius, yakni pemikiran
bahwa laut tidak ada yang memiliki, sehingga suatu
negara dapat menguasai teritorial yang belum diklaim atau memperoleh kekuasaan
ketika salah satu penduduknya memasuki wilayah tersebut.
Beberapa upaya
penguasaan LCS pasca Perang Dunia II antara lain :
·
Cina
Pada tahun 1948, rejim Kuomintang mendeklarasikan konsep batas laut
teritorial Cina eleven dotted line,
meliputi Pulau Hainan, Teluk
Tonkin, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly sampai pesisir Kalimantan. Konsep
tersebut lantas “diperhalus” oleh pemerintah komunis RRC menjadi nine dotted line pada tahun 1958. Beijing
kemudian pada tahun 1995 membuat peta maritim yang memasukan
Laut Natuna dalam perairan teritorialnya, yang mana sempat menuai protes Badan
Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR-RI ketika sidang ASEAN Inter-Parliamentary
Organization (AIPO) September
1996. Bahkan baru-baru ini RRC secara sepihak “mendirikan” prefektur bernama
Sansha di pulau Yongxing (Pulau Woody), Kepulauan Paracel, berikut menempatkan
sebuah garnisun militer di sana. Nantinya Prefektur Sansha menjadi pusat
administrasi atas wilayah nine dotted line.
·
Vietnam
Klaim Vietnam
atas kawasan LCS diuntungkan oleh keputusan Konferensi San Francisco tahun 1951 yang menolak usulan Uni
Soviet tentang pemberian otoritas Kepulauan Spratly dan Paracel kepada RRC.
Pasca hengkangnya kolonial Perancis, rejim Vietnam Selatan pro
AS menduduki Kepulauan Spratly sepanjang tahun 1956 s/d
1971 yang “diteruskan” oleh pemerintah Hanoi. Hingga kini Vietnam menguasai 31 pulau di LCS yang dijadikan sebuah
distrik di Provinsi Khanh Hoa. Pada Juli 2012, Parlemen Vietnam menyetujui
resolusi yang memasukan Kepulauan Paracel dan Spratly dalam teritorial Vietnam.
·
Filipina
Pada tahun 1956, seorang pengusaha Filipina bernama Tomas Cloma secara
sepihak mengakuisisi 53 pulau di LCS yang dinamainya Freedomland. Pada tahun 1978, Presiden Marcos memutuskan
pengambilalihan Freedomland kepada
pemerintah Filipina yang kemudian dinamai ulang sebagai Kalalayan.
·
Malaysia
Pada tahun 1979, Kuala Lumpur membuat peta teritorial mencakup 3 pulau
karang yakni Ardasier Reef (Terumbu Ubi), Mariveles Reef (Terumbu Mantanani)
dan Swallow Reef (Terumbu Layang), dengan alasan wilayah itu termasuk dalam zona landas kontinen
Malaysia.
·
Brunei Darussalam
Pada tahun 1984, Bandar Seri Begawan mengklaim Louisa Reef masuk dalam
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Brunei.
Adapun sengketa LCS yang mencapai skala bentrokan terbuka terjadi antara RRC dan Vietnam, yakni tahun 1974 dalam perebutan
Kepulauan Paracel dan tahun 1988 dalam perebutan pulau karang Johnson Reefs. Dalam konflik
tahun 1988, pihak RRC berhasil menenggelamkan beberapa kapal perang Vietnam dan
menewaskan 70 pelautnya.
Pertumbuhan Ekonomi versus Kelangkaan Minyak
Dapat disimpulkan
adalah RRC sebagai pihak paling ambisius
menguasai LCS.
Hal ini diindikasikan dari langkah pengapungan isu nine dotted line dari sekadar
wacana kebangsaan menjadi national
interest. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Secara politis hal
ini terkait program “Empat Modernisasi” bidang politik, ekonomi, administrasi
dan keuangan yang dicanangkan pemimpin Deng Xiaoping tahun 1978. Untuk itu RRC
berupaya menjadi kekuatan maritim maupun kontinental guna mendukung percepatan
modernisasi.
Secara ekonomi
RRC harus pandai-pandai menjaga pertumbuhan ekonomi
minimum 8 % per tahun, demi meminimalisir potensi gejolak polkam ditengah
komunitas berpopulasi 1,3 miliar jiwa, Mengingat sektor industri adalah pilar utama ekonomi Tirai Bambu
dengan kontribusi kepada Gross Domestic
Product (GDP) sekitar 48 %, maka jaring pengaman ekonomi tidak lain
berupa ketersediaan bahan bakar minyak untuk industri. Diperkirakan kebutuhan migas RRC sebesar 9,9 juta
barel per hari atau naik 5 % per tahun. Ironinya, kemampuan
ladang migas domestik yang berada Tarim, Daqing, Jilin, Liaohe, Dadang,
Changging, Zhongyuan, Jiangsu serta 3 ladang lepas pantai Shanghai, Zhejiang
dan Xianggang, hanya sanggup memasok 53% dari total kebutuhan migas nasional.
Untuk itu Beijing mulai “melirik” LCS, terlebih adanya informasi ditemukannya
38 lokasi potensi migas di seantero perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi
tersebut.
Arti penting migas
demi eksistensi bernegara juga disadari oleh Vietnam, yang menganggap emas hitam adalah pilar
sekaligus katalisator keberhasilan program reformasi ekonomi Doi Moi. Dengan capaian pertumbuhan ekonomi tahunan 6 s/d 7 %,
diperkirakan turut mendongkrak konsumsi energi Vietnam hingga 400 % dibandingkan
7 tahun silam. Namun kondisi tersebut tidak diimbangi pasokan migas domestik
yang terus menurun; bahkan sejak tahun 2011 terpaksa mengimpor minyak. Untuk
itu Hanoi mulai berupaya mencari ladang migas lepas pantai sekitar Nam Con Son
Basin hingga Tu Chinh Vung May Basin di kawasan LCS.
Sementara Filipina memandang
migas sebagai solusi perekonomiannya yang sedikit tertinggal dibanding negara
ASEAN lainnya, apalagi negeri asal Imelda Marcos ini telah lama menjadi
mengimpor minyak. Walhasil Manila begitu sumringah
dengan penemuan ladang minyak Sampaguita yang berada di sekitar Recto Bank atau Reed Bank, dengan potensi
kandungan 416 juta barel minyak dan 16,6 trilion
cubic feet (CFT) gas alam. Ladang Sampaguita sendiri berlokasi tak jauh
dari ladang migas Malampaya, yang kini memasok bahan bakar bagi seluruh
pembangkit listrik di Luzon - pulau utama di Filipina. Padahal status penguasaan
Reed Bank masih sengketa antara RRC dengan Filipina.
Si Vis Pacem
Parabellum
Tidak dipungkiri
bahwa sengketa LCS mengancam kesepakatan zona damai ASEAN karena telah
menyulut arm race di kawasan tersebut. Hal ini tercermin dari fakta peningkatan anggaran
belanja militer negara-negara sekitar LCS, yang seakan mengamini laporan Study
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang menyatakan
hampir 44 % impor senjata asal Eropa sepanjang tahun 2007 s/d 2011 mengalir ke
kawasan Asia Pasifik.
Contoh utama adalah
RRC yang memiliki porsi anggaran belanja militer terbesar kedua setelah AS,
yakni 19,8 miliar dollar AS. Beijing bahkan diprediksi bakal melipatgandakan anggarannya antara tahun 2012 s/d 2015, hingga
melampaui daripada seluruh anggaran pertahanan 12 negara
lain seantero
Asia Pasifik. Realisasinya People Liberation Army Navy (PLAN) diperkuat sebuah kapal induk
kelas Varyag yang mampu mengangkut 26
pesawat dan 24 helikopter, 2 kapal Ampbhibious
Transport Dock (LPD) kelas Yuzhao,
25 kapal destroyer, 47 kapal fregat, 6 kapal selam nuklir dengan rudal balistik
dan 4 kapal selam nuklir serang.
Sementara People
liberation Army Air Force (PLAAF) diperkuat multirole cangggih macam Chengdu
J-10, Sukhoi Su-30 MK, Sukhoi Su-27 Sk, Shenyang J-11, intersep Shenyang
J-8 dan fighter bomber Xian JH-7. Ini belum termasuk rudal
jelajah Dong Hai-10 dan rudal balistik Chang Jian-10.
Gigantisme militer
RRC seiring menghangatnya eskalasi di LCS, kemudian disikapi oleh sejumlah
negara ASEAN dengan mendongkrak belanja pertahanannya. Semisal Vietnam yang telah
meningkatkan budget pertahanannya hingga 83 % sejak tahun 2003, kini telah
memiliki pesawat multirole jenis Sukhoi Su-30 dan Su-27, 2 kapal fregat
kelas Gepard dan 6 kapal selam diesel
kelas Kilo, Selain itu Hanoi juga
mengimpor sistem rudal pertahanan pantai K-300 P Bastion berjangkauan 600 Km dan 15 rudal jelajah Brahmos. Sementara Malaysia –meski pada
tahun 2012 menurunkan porsi belanja pertahanannya dibanding 2011 – telah
mengakuisisi pesawat multirole jenis Sukhoi Su-30MK, F/A-18D Hornet, intersep MIG-29 Fulcrum, kapal fregat kelas Lekiu, kapal selam kelas Scorpene dan Littoral Combat Ship kelas Gowind.
Sementara Filipina –
yang hanya menaikan anggaran pertahanan tahun 2013 sebesar 12,5 % dibanding
tahun 2012 – cenderung meminta bantuan “Saudara Tua” AS guna membekingi masalah
LCS. Hal ini diwujudkan lewat bantuan hibah kapal patrol eks-USGC kelas Hamilton Class High Endurance Cutters pada
tahun 2011 serta latihan perang bersama. Terlebih antara Manila dan Washington
masih terikat Mutual Defense Treaty tahun
1951.
Bak gayung bersambut,
Presiden Obama pada Januari 2012 mengumumkan perubahan strategi pertahanan AS
dengan menitikberatkan kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik, guna menghadapi
hegemoni RRC. Hal ini diwujudkan dengan penempatan 2.500 marinir di Darwin,
melabuhkan 4 kapal perang Littoral Combat
Ship di Singapura, serta merencanakan pembangunan pangkalan pesawat
mata-mata udara di Cocos Keeling Island (dekat Pulau Christmas).
Bila
digabungkan dengan lokasi basis militer AS eksisting di Korea Selatan, Jepang
dan Guam, maka disposisi personel berikut alutsista Paman Sam saat ini telah mengisolasi LCS.
Kerawanan Geo-Intelijen di LCS : Dragon Versus Hawk
Keberhasilan koalisi
pimpinan AS dalam melumat militer Irak dalam Perang Teluk 1991, seakan
menyadarkan petinggi PLA untuk segera memodernisasi alutsista dengan teknologi
terkini. Salah satu langkah signifikan adalah dengan pengembangan teknologi
Geo-Intelijen (GEOINT) antara lain :
·
Sistem Navigasi Satelit (GNSS - Global Navigation Sattelite Systems)
Saat ini RRC telah memulai kemandirian GNSS melalui program Beidou Navigation System lewat
peluncuran 13 satelit navigasi sejak tahun 2000. Diperkirakan hingga akhir
tahun 2012 Beidou akan mampu mencapai coverage
kawasan Asia Pasifik, dimana pada tahun 2020 bakal mampu beroperasi secara
global dengan dukungan 35 satelit, dimana selanjutnya dinamakan Compass Navigation System. Guna
mendukung perluasan coverage, RRC
menjalin kerjasama dengan pengelola sistem navigasi satelit GALILEO milik Uni
Eropa.
Diindikasikan Beidoui / Compass telah dipasangkan pada Land Attack Cruise Missile (LACM) Dong Hai – 10 maupun derivatnya
rudal Chang
Jian-10. Selain itu turut diinstalasi sistem pengatur ketinggian Inertial Navigation System (INS) dan Terrain
Countour Matching (TERCOM) untuk mencocokkan kontur pada
peta dengan medan sesungguhnya. Dengan demikian akan
semakin meningkatkan akurasi rudal-rudal jelajah RRC tersebut yang rata-rata
memiliki jangkauan 3.000 s/d 4.000 Km serta dapat diangkut dengan wahana bomber
pesawat pembom Xian H-6 maupun kapal
perusak berpeluru kendali.
·
Pengintaian dari Udara (Imagery Intelligence - IMINT)
Kegagalan “mengendus” pergerakan dua kapal induk AS memasuki Selat
Taiwan pada tahun 1996, memicu Beijing memperkuat kemampuan IMINT. Diantaranya
dengan mengembangkan wahana satelit mata-mata dan pesawat tanpa awak (UAV - Unmanned Aerial Vehicle). Dilaporkan
pada bulan Mei 2012 silam, RRC telah meluncurkan satelit mata-mata Yaogan 14 menggunakan roket Long March
4B. Diindikasikan Beijing sejak tahun 1975 telah berupaya mengembangkan satelit
mata-mata melalui program FSW (Fanhui Shi
Weixing – Recoverable Sattelite), dimana sampai pertengahan tahun 1999
sudah meluncurkan 15 satelit FSW.
Sedangkan pengembangan UAV diawali ketika Beijing mendapati reruntukan drones Firebee pada tahun 1960-an, yang
kemudian dijadikan rujukan pembuatan UAV Chang Hong 1 (CH-1). Diindikasikan
Beijing saat ini tengah mengembangkan UAV berkemampuan High Altitude Long Endurance (HALE) yakni Chengdu
Xianglong
(Soaring Dragon) yang memiliki kemampuan jelajah 7.000 Km.
Pengembangan teknologi GEOINT
oleh RRC tidak lain agar mampu menghadapi kedigdayaan GEOINT militer AS,
seperti sisitem navigasi satelit Global Positioning System (GPS), yang telah
diaplikasikan sejak dekade 1970 dan kini telah menjadi “sisipan” standar
militer AS mulai dari radio komunikasi hingga rudal jelajah Tomahawk. Sehubungan dengan peningkatan
eskalasi LCS, disinyalir Washington akan menempatkan pesawat UAV HALE RQ-4 Global Hawk di Cocos Keeling Island.
Global Hawk memiliki kemampuan terbang hingga ketinggian 15.000
meter dpl (diatas permukaan laut) dan jarak jelajah hingga 20.000 Km. Selain itu UAV ini dilengkapi perangkat Synthetic
Aperture Radar (SAR) dan citra Electro-Optical/Infrared
(EO/IR) dengan cakupan wilayah seluas 103.600 Km persegi.
Ancaman Geo-Intelijen di Indonesia
Rencana AS menempatkan Global Hawk di Cocos Keeling Island, sejatinya merupakan bentuk
ancaman GEOINT bagi Indonesia. Betapa tidak, dengan kemampuan jelajah terbang
hampir separuh keliling bumi, maka Indonesia hanyalah “selemparan batu” bagi
UAV HALE andalan AS tersebut. Masih lemahnya sistem pertahanan udara (Hanud)
Tanah Air turut memperparah kerentanan atas aktivitas black flight terutama untuk tujuan air reconnaissance.
Hal lain yang juga
menjadi ancaman GEOINT terkait posisi geografis Indonesia di garis
Khatulistiwa. Menurut Manajer Divisi Survei Trimble
Asia-Pasifik, Ronald van Coevorden, angkasa
Indonesia merupakan perlintasan bagi sekitar 35 satelit navigasi baik GPS, GLONASS (milik Rusia), GALILEO, Beidou /
Compass, IRNSS (India Regional Navigation
Satellite System - milik India) dan QZSS (Quasi-Zenith Satellite System - milik Jepang).
Trimble Courtesy |
Hal tersebut tentunya memberikan dampak positif berupa kemudahan
pemanfaatan akses navigasi berbasis satelit. Namun di sisi lain juga rentan
disalahgunakan untuk aktivitas GEOINT pihak asing, katakan untuk lokasi uji
coba penembakan rudal penjelajah berpemandu sistem navigasi satelit.
Kesimpulan
Ketidakpastian kondisi LCS selepas ”kegagalan” ASEAN menyepakati Code of Conduct, bakal semakin meningkatkan ketegangan. Dimana masing-masing negara
bertikai akan teus memperkuat kekuatan militernya sekaligus terpancing
melakukan provokasi dan agitasi di LCS. Situasi ini makin diperkeruh dengan
langkah AS membangun fortress chained sepanjang klaim nine dotted line.
Selain melakukan show of force di wilayah sengketa
sebagai bagian dari psy- war, maka
pihak-pihak bertikai diindikasikan akan meningkatkan kegiatan GEOINT dalam
rangka mengumpulkan data intelijen tentang kualitas, kuantitas dan disposisi
kekuatan lawan. Dalam hal ini diperkirakan akan terjadi “perang” GEOINT antara
RRC dengan AS di kawasan LCS.
Terkait hal itu maka
perlu kiranya Indonesia sebagai salah satu founder
ASEAN tersu mengupayakan penyelesaian diplomatik atas konflik LCS, terutama antara
RRC dengan sejumlah negara ASEAN. Selain itu mempersiapkan antisipasi “skenario
terburuk” dengan mempercepat modernisasi alutsista pertahanan menuju Minimum Essential Forces (MEF). Demikian
pula agar meningkatkan pemberdayaan komunitas iptek dalam negeri dalam
mengembangkan defence technology,
terutama yang terkait GEOINT.