Rabu, 01 Agustus 2012

Spatial Conflict Laut Cina Selatan & Peningkatan Ancaman Geo-Intelijen





Pendahuluan
Gagalnya Pertemuan Menlu ASEAN ke-45 di Phnom Penh, Kamboja, dalam menyepakati Code of Conduct Laut Cina Selatan (LCS), menunjukan peliknya penyelesaian sengketa teritorial atas Kepulauan Spratly. Kondisi ini rawan memicu eskalasi konflik yang mengarah kepada bentrokan terbuka. Terlebih adanya indikasi upaya campur tangan “polisi dunia” AS guna menghambat hegemoni RRC.

Sengketa LCS – khususnya Kepulauan Spratly dari perspektif geospasial adalah realita dari spatial conflict, yakni konflik teritorial di perbatasan yang dipengaruhi aspek sosial politik ataupun ekonomi. Namun kebanyakan terkait  dengan sumber daya alam. Hal serupa berlaku di LCS : Seabednya  terkandung sekitar  23 sampai 30 miliar ton barel cadangan minyak mentah berikut 16 triliun kubik meter cadangan gas alam, yang tersebar di sekitar pesisir selatan Cina, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, Kepulauan Palawan (Filipina), Laut Natuna, perairan utara Kalimantan dan pesisir selatan Vietnam. Potensi perikanannya diperkirakan mencapai 7 % perikanan global. Sementara permukaan lautnya setiap tahun menjadi superhighway bagi sepertiga volume pelayaran dunia yang wara-wiri antara kawasan Asia Timur Jauh dengan kawasan Timur Tengah.

Res Nullius
LCS mencakup 250 pulau, diantaranya yang terbesar adalah Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, Kepulauan Paratas, Macclesfield Bank dan Scarborough Shoal. Toponiminya mengacu pada penyebutan Mar da China  atau Laut Cina oleh pelaut Portugis bagi perairan yang menjadi rute pelayaran niaga Eropa - Cina pada abad ke-16. Adapun klaim geo-historis disuarakan oleh RRC dan Vietnam. Pihak Beijing merujuk peta masa Dinasti Han (206 SM sampai 220 Masehi) sebagai otentifikasi bahwa LCS masuk wilayah Cina. Sebaliknya Hanoi pun merujuk peta teritorial kerajaan Dinasti Nguyen pada abad ke-17 yang melingkupi kawasan LCS.

Namun catatan resmi penguasa LCS dalam sejarah adalah kolonial Perancis kemudian Jepang sepanjang periode 1930 s/d 1945. Usai Perang Pasifik yang ditandai kekalahan Jepang, terjadi kevakuman kedaulatan laut. Hal inilah pencetus “perebutan kavling” laut antar negara-negara pesisir LCS, mengamini  asas hukum Res Nullius, yakni pemikiran bahwa laut tidak ada yang memiliki, sehingga suatu negara dapat menguasai teritorial yang belum diklaim atau memperoleh kekuasaan ketika salah satu penduduknya memasuki wilayah tersebut.

Beberapa upaya penguasaan LCS pasca Perang Dunia II antara lain :

·         Cina
Pada tahun 1948, rejim Kuomintang mendeklarasikan konsep batas laut teritorial Cina eleven dotted line, meliputi  Pulau Hainan, Teluk Tonkin, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly sampai pesisir Kalimantan. Konsep tersebut lantas “diperhalus” oleh pemerintah komunis RRC menjadi nine dotted line pada tahun 1958. Beijing kemudian pada tahun 1995 membuat peta maritim yang memasukan Laut Natuna dalam perairan teritorialnya, yang mana sempat menuai protes Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR-RI ketika sidang ASEAN Inter-Parliamentary Organization (AIPO) September 1996. Bahkan baru-baru ini RRC secara sepihak “mendirikan” prefektur bernama Sansha di pulau Yongxing (Pulau Woody), Kepulauan Paracel, berikut menempatkan sebuah garnisun militer di sana. Nantinya Prefektur Sansha menjadi pusat administrasi atas wilayah nine dotted line.

·         Vietnam
Klaim Vietnam atas kawasan LCS diuntungkan oleh keputusan Konferensi San Francisco tahun 1951 yang menolak usulan Uni Soviet tentang pemberian otoritas Kepulauan Spratly dan Paracel kepada RRC. Pasca hengkangnya kolonial Perancis, rejim Vietnam Selatan pro AS menduduki Kepulauan Spratly sepanjang tahun 1956 s/d 1971 yang “diteruskan” oleh pemerintah Hanoi. Hingga kini Vietnam menguasai 31 pulau di LCS yang dijadikan sebuah distrik di Provinsi Khanh Hoa. Pada Juli 2012, Parlemen Vietnam menyetujui resolusi yang memasukan Kepulauan Paracel dan Spratly dalam teritorial Vietnam.
   
·         Filipina
Pada tahun 1956, seorang pengusaha Filipina bernama Tomas Cloma secara sepihak mengakuisisi 53 pulau di LCS yang dinamainya Freedomland. Pada tahun 1978, Presiden Marcos memutuskan pengambilalihan Freedomland kepada pemerintah Filipina yang kemudian dinamai ulang sebagai Kalalayan.


·         Malaysia
Pada tahun 1979, Kuala Lumpur membuat peta teritorial mencakup 3 pulau karang yakni Ardasier Reef (Terumbu Ubi), Mariveles Reef (Terumbu Mantanani) dan Swallow Reef (Terumbu Layang), dengan alasan wilayah itu termasuk dalam zona landas kontinen Malaysia. 

·         Brunei Darussalam
Pada tahun 1984, Bandar Seri Begawan mengklaim Louisa Reef masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Brunei.

Adapun sengketa LCS yang mencapai skala bentrokan terbuka terjadi antara RRC dan Vietnam, yakni tahun 1974 dalam perebutan Kepulauan Paracel dan tahun 1988 dalam perebutan pulau karang Johnson Reefs. Dalam konflik tahun 1988, pihak RRC berhasil menenggelamkan beberapa kapal perang Vietnam dan menewaskan 70 pelautnya.

Pertumbuhan Ekonomi versus Kelangkaan Minyak
Dapat disimpulkan adalah RRC sebagai pihak paling ambisius menguasai LCS. Hal ini diindikasikan dari langkah pengapungan isu nine dotted line dari sekadar wacana kebangsaan menjadi national interest. Mengapa hal itu bisa terjadi ?

Secara politis hal ini terkait program “Empat Modernisasi” bidang politik, ekonomi, administrasi dan keuangan yang dicanangkan pemimpin Deng Xiaoping tahun 1978. Untuk itu RRC berupaya menjadi kekuatan maritim maupun kontinental guna mendukung percepatan modernisasi.  

Secara ekonomi RRC harus pandai-pandai menjaga pertumbuhan ekonomi minimum 8 % per tahun, demi meminimalisir potensi gejolak polkam ditengah komunitas berpopulasi 1,3 miliar jiwa, Mengingat sektor industri adalah pilar utama ekonomi Tirai Bambu dengan kontribusi kepada Gross Domestic Product (GDP) sekitar 48 %, maka jaring pengaman ekonomi tidak lain berupa ketersediaan bahan bakar minyak untuk industri. Diperkirakan kebutuhan migas RRC sebesar 9,9 juta barel per hari atau naik 5 % per tahun. Ironinya, kemampuan ladang migas domestik yang berada Tarim, Daqing, Jilin, Liaohe, Dadang, Changging, Zhongyuan, Jiangsu serta 3 ladang lepas pantai Shanghai, Zhejiang dan Xianggang, hanya sanggup memasok 53% dari total kebutuhan migas nasional. Untuk itu Beijing mulai “melirik” LCS, terlebih adanya informasi ditemukannya 38 lokasi potensi migas di seantero perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi tersebut.

Arti penting migas demi eksistensi bernegara juga disadari oleh Vietnam, yang menganggap emas hitam adalah pilar sekaligus katalisator keberhasilan program reformasi ekonomi Doi Moi. Dengan capaian pertumbuhan ekonomi tahunan 6 s/d 7 %, diperkirakan turut mendongkrak konsumsi energi Vietnam hingga 400 % dibandingkan 7 tahun silam. Namun kondisi tersebut tidak diimbangi pasokan migas domestik yang terus menurun; bahkan sejak tahun 2011 terpaksa mengimpor minyak. Untuk itu Hanoi mulai berupaya mencari ladang migas lepas pantai sekitar Nam Con Son Basin hingga Tu Chinh Vung May Basin di kawasan LCS. 

Sementara Filipina memandang migas sebagai solusi perekonomiannya yang sedikit tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya, apalagi negeri asal Imelda Marcos ini telah lama menjadi mengimpor minyak. Walhasil Manila begitu sumringah dengan penemuan ladang minyak Sampaguita yang berada di sekitar  Recto Bank atau Reed Bank, dengan potensi kandungan 416 juta barel minyak dan 16,6 trilion cubic feet (CFT) gas alam. Ladang Sampaguita sendiri berlokasi tak jauh dari ladang migas Malampaya, yang kini memasok bahan bakar bagi seluruh pembangkit listrik di Luzon - pulau utama di Filipina. Padahal status penguasaan Reed Bank masih sengketa antara RRC dengan Filipina.     

Si Vis Pacem Parabellum
Tidak dipungkiri bahwa sengketa LCS mengancam kesepakatan zona damai ASEAN karena telah menyulut arm race di kawasan tersebut. Hal ini tercermin dari fakta peningkatan anggaran belanja militer negara-negara sekitar LCS, yang seakan mengamini  laporan Study Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang menyatakan hampir 44 % impor senjata asal Eropa sepanjang tahun 2007 s/d 2011 mengalir ke kawasan Asia Pasifik. 

Contoh utama adalah RRC yang memiliki porsi anggaran belanja militer terbesar kedua setelah AS, yakni 19,8 miliar dollar AS. Beijing bahkan diprediksi bakal melipatgandakan anggarannya antara tahun 2012 s/d 2015, hingga melampaui daripada seluruh anggaran pertahanan 12 negara lain seantero Asia Pasifik. Realisasinya People Liberation Army Navy (PLAN) diperkuat sebuah kapal induk kelas Varyag yang mampu mengangkut 26 pesawat dan 24 helikopter, 2 kapal Ampbhibious Transport Dock (LPD) kelas Yuzhao, 25 kapal destroyer, 47 kapal fregat, 6 kapal selam nuklir dengan rudal balistik dan 4 kapal selam nuklir serang.

Sementara People liberation Army Air Force (PLAAF) diperkuat multirole cangggih macam Chengdu J-10, Sukhoi Su-30 MK, Sukhoi Su-27 Sk, Shenyang J-11, intersep Shenyang J-8 dan fighter bomber Xian JH-7. Ini belum termasuk rudal jelajah Dong Hai-10 dan rudal balistik Chang Jian-10

Gigantisme militer RRC seiring menghangatnya eskalasi di LCS, kemudian disikapi oleh sejumlah negara ASEAN dengan mendongkrak belanja pertahanannya. Semisal Vietnam yang telah meningkatkan budget pertahanannya hingga 83 % sejak tahun 2003, kini telah memiliki pesawat multirole jenis Sukhoi Su-30 dan Su-27, 2 kapal fregat kelas Gepard dan 6 kapal selam diesel kelas Kilo, Selain itu Hanoi juga mengimpor sistem rudal pertahanan pantai K-300 P Bastion berjangkauan 600 Km dan 15 rudal jelajah Brahmos. Sementara Malaysia –meski pada tahun 2012 menurunkan porsi belanja pertahanannya dibanding 2011 – telah mengakuisisi pesawat multirole jenis Sukhoi Su-30MK, F/A-18D Hornet, intersep MIG-29 Fulcrum, kapal fregat kelas Lekiu, kapal selam kelas Scorpene dan Littoral Combat Ship kelas Gowind.

Sementara Filipina – yang hanya menaikan anggaran pertahanan tahun 2013 sebesar 12,5 % dibanding tahun 2012 – cenderung meminta bantuan “Saudara Tua” AS guna membekingi masalah LCS. Hal ini diwujudkan lewat bantuan hibah kapal patrol eks-USGC kelas Hamilton Class High Endurance Cutters pada tahun 2011 serta latihan perang bersama. Terlebih antara Manila dan Washington masih terikat Mutual Defense Treaty tahun 1951.  

Bak gayung bersambut, Presiden Obama pada Januari 2012 mengumumkan perubahan strategi pertahanan AS dengan menitikberatkan kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik, guna menghadapi hegemoni RRC. Hal ini diwujudkan dengan penempatan 2.500 marinir di Darwin, melabuhkan 4 kapal perang Littoral Combat Ship di Singapura, serta merencanakan pembangunan pangkalan pesawat mata-mata udara di Cocos Keeling Island (dekat Pulau Christmas). 
Bila digabungkan dengan lokasi basis militer AS eksisting di Korea Selatan, Jepang dan Guam, maka disposisi personel berikut alutsista Paman Sam saat ini telah mengisolasi LCS.


Kerawanan Geo-Intelijen di LCS : Dragon Versus Hawk  
Keberhasilan koalisi pimpinan AS dalam melumat militer Irak dalam Perang Teluk 1991, seakan menyadarkan petinggi PLA untuk segera memodernisasi alutsista dengan teknologi terkini. Salah satu langkah signifikan adalah dengan pengembangan teknologi Geo-Intelijen (GEOINT) antara lain :

·         Sistem Navigasi Satelit (GNSS - Global Navigation Sattelite Systems)
Saat ini RRC telah memulai kemandirian GNSS melalui program Beidou Navigation System lewat peluncuran 13 satelit navigasi sejak tahun 2000. Diperkirakan hingga akhir tahun 2012 Beidou akan mampu mencapai coverage kawasan Asia Pasifik, dimana pada tahun 2020 bakal mampu beroperasi secara global dengan dukungan 35 satelit, dimana selanjutnya dinamakan Compass Navigation System. Guna mendukung perluasan coverage, RRC menjalin kerjasama dengan pengelola sistem navigasi satelit GALILEO milik Uni Eropa.     

Diindikasikan Beidoui / Compass telah dipasangkan pada Land Attack Cruise Missile (LACM) Dong Hai – 10 maupun derivatnya rudal  Chang Jian-10. Selain itu turut diinstalasi sistem pengatur ketinggian Inertial Navigation System (INS) dan Terrain Countour Matching (TERCOM) untuk mencocokkan  kontur pada peta dengan medan sesungguhnya. Dengan demikian akan semakin meningkatkan akurasi rudal-rudal jelajah RRC tersebut yang rata-rata memiliki jangkauan 3.000 s/d 4.000 Km serta dapat diangkut dengan wahana bomber pesawat pembom Xian H-6 maupun kapal perusak berpeluru kendali.  


·         Pengintaian dari Udara (Imagery Intelligence - IMINT)
Kegagalan “mengendus” pergerakan dua kapal induk AS memasuki Selat Taiwan pada tahun 1996, memicu Beijing memperkuat kemampuan IMINT. Diantaranya dengan mengembangkan wahana satelit mata-mata dan pesawat tanpa awak (UAV - Unmanned Aerial Vehicle). Dilaporkan pada bulan Mei 2012 silam, RRC telah meluncurkan satelit mata-mata Yaogan 14 menggunakan roket Long March 4B. Diindikasikan Beijing sejak tahun 1975 telah berupaya mengembangkan satelit mata-mata melalui program FSW (Fanhui Shi Weixing – Recoverable Sattelite), dimana sampai pertengahan tahun 1999 sudah meluncurkan 15 satelit FSW.

Sedangkan pengembangan UAV diawali ketika Beijing mendapati reruntukan drones Firebee pada tahun 1960-an, yang kemudian dijadikan rujukan pembuatan UAV Chang Hong 1 (CH-1). Diindikasikan Beijing saat ini tengah mengembangkan UAV berkemampuan High Altitude Long Endurance (HALE) yakni Chengdu Xianglong (Soaring Dragon) yang memiliki kemampuan jelajah 7.000 Km.


Pengembangan teknologi GEOINT oleh RRC tidak lain agar mampu menghadapi kedigdayaan GEOINT militer AS, seperti sisitem navigasi satelit Global Positioning System (GPS), yang telah diaplikasikan sejak dekade 1970 dan kini telah menjadi “sisipan” standar militer AS mulai dari radio komunikasi hingga rudal jelajah Tomahawk. Sehubungan dengan peningkatan eskalasi LCS, disinyalir Washington akan menempatkan pesawat UAV HALE RQ-4 Global Hawk di Cocos Keeling Island. Global Hawk memiliki kemampuan terbang hingga ketinggian 15.000 meter dpl (diatas permukaan laut) dan jarak jelajah hingga 20.000 Km. Selain itu UAV ini  dilengkapi perangkat Synthetic Aperture Radar (SAR) dan citra Electro-Optical/Infrared (EO/IR) dengan cakupan wilayah seluas 103.600 Km persegi.  

Ancaman Geo-Intelijen di Indonesia
Rencana AS menempatkan Global Hawk di Cocos Keeling Island, sejatinya merupakan bentuk ancaman GEOINT bagi Indonesia. Betapa tidak, dengan kemampuan jelajah terbang hampir separuh keliling bumi, maka Indonesia hanyalah “selemparan batu” bagi UAV HALE andalan AS tersebut. Masih lemahnya sistem pertahanan udara (Hanud) Tanah Air turut memperparah kerentanan atas aktivitas black flight terutama untuk tujuan air reconnaissance.

Hal lain yang juga menjadi ancaman GEOINT terkait posisi geografis Indonesia di garis Khatulistiwa. Menurut Manajer Divisi Survei Trimble Asia-Pasifik, Ronald van Coevorden, angkasa Indonesia merupakan perlintasan bagi sekitar 35 satelit navigasi baik GPS, GLONASS (milik Rusia), GALILEO, Beidou / Compass, IRNSS (India Regional Navigation Satellite System - milik India) dan QZSS (Quasi-Zenith Satellite System - milik Jepang). 
Trimble Courtesy

Hal tersebut tentunya memberikan dampak positif berupa kemudahan pemanfaatan akses navigasi berbasis satelit. Namun di sisi lain juga rentan disalahgunakan untuk aktivitas GEOINT pihak asing, katakan untuk lokasi uji coba penembakan rudal penjelajah berpemandu sistem navigasi satelit.






Kesimpulan
Ketidakpastian kondisi LCS selepas ”kegagalan” ASEAN menyepakati Code of Conduct, bakal semakin meningkatkan ketegangan. Dimana masing-masing negara bertikai akan teus memperkuat kekuatan militernya sekaligus terpancing melakukan provokasi dan agitasi di LCS. Situasi ini makin diperkeruh dengan langkah AS  membangun fortress chained sepanjang klaim nine dotted line.

Selain melakukan show of force di wilayah sengketa sebagai bagian dari psy- war, maka pihak-pihak bertikai diindikasikan akan meningkatkan kegiatan GEOINT dalam rangka mengumpulkan data intelijen tentang kualitas, kuantitas dan disposisi kekuatan lawan. Dalam hal ini diperkirakan akan terjadi “perang” GEOINT antara RRC dengan AS di kawasan LCS.

Terkait hal itu maka perlu kiranya Indonesia sebagai salah satu founder ASEAN tersu mengupayakan penyelesaian diplomatik atas konflik LCS, terutama antara RRC dengan sejumlah negara ASEAN. Selain itu mempersiapkan antisipasi “skenario terburuk” dengan mempercepat modernisasi alutsista pertahanan menuju Minimum Essential Forces (MEF). Demikian pula agar meningkatkan pemberdayaan komunitas iptek dalam negeri dalam mengembangkan defence technology, terutama yang terkait GEOINT.